Takut (lagi)
Aku sekarang sering heran sendiri kenapa orang2 terheran2 padaku padahal selama ini aku gak pernah heran pada diri sendiri. Banyak perempuan yang lebih berani daripada aku. Aku jadi mulai heran kenapa aku yang gak punya kemampuan olah raga bela diri tak pernah takut jika pulang sendirian di atas jam 10 malam naik ojek di kegelapan hutan karet kota ini sekarang, atau sendirian berani bicara dengan maling yang ternyata membawa golok di tasnya di kostanku, sewaktu kuliah s1. Aku mulai heran kenapa aku gak takut menyebrangi selat sunda di kapal Ferry jam 12 malam, sendirian diantara penumpang2 tak kukenal, sewaktu SMA. Aku juga heran kenapa aku tak bisa memohon2 ke teman laki-laki di kelas untuk diantar pulang ke kostan jam 01 dini hari setelah kepanitiaan ospek, sewaktu kuliah s1 dulu.
Aku heran kenapa aku masih tak takut, walau bisa jadi tak 'secuek' dulu.
Tapi kali ini aku ketakutan. Bukan takut hantu atau binatang. Siang terang benderang, aku berjalan di jalan raya yang cukup ramai. Aku melihat sosok perempuan berbadan kecil, berjarak 5 meter denganku. Aku menunduk berharap dia tak melihat. Alhamdulillah dia tak melihat. Di kota ini? Bumi ini terlalu luas untuk aku bertemu jutaan manusia lain. Waktu yang kupunya ini mudah2an masih ada untuk bertemu teman2 dekatku yang terpisah jarak yang menunggu2 aku memenuhi undangan kangen mereka. Kenapa harus papasan dengannya? Jantungku sempat berdebar sebentar, walau tak sekencang dulu. Dia yang beberapa tahun lalu mendapat no hp-ku, entah dapat darimana. Isi sms yang standar. Layaknya sms teman lama. Tak kubalas. Tanganku gemetar memegang hp. Padahal dulu kami berpisah baik-baik penuh senyuman. Karena aku mulai pandai berbasa-basi dengannya. Kukira case close. Bertahun kemudian, dia ternyata masih mencari korban lain. Saudaranya temanku. Aku kaget. Dunia ini begitu sempit. Si korban tersiksa dan berniat melabraknya. Kularang. Akan percuma. Dulu aku pernah dibuat pucat pasi olehnya, dulu teman2ku yang pernah bertemu dengannya menangis dibuatnya, bahkan psikolog muda menangis gemetar di depan mataku karenanya! Dia sopan, pintar, puitis, lemah lembut, dan penolong. Tapi dia psikopat. Maaf kalau aku menyebutnya itu. Maaf kalau aku tak siap menyapanya sekarang. Aku tak mau nantinya sekadar basa-basi lagi. Maaf kalau aku tak bisa menjadikannya ladang pahala bagiku, untuk menyadarkannya. Masih banyak hal lain yang bisa dijadikan ladang pahala.
Dan aku heran, kenapa aku masih takut, walau tak 'segemetar' dulu.
Rasa takut diciptakan agar kita selalu waspada. Sebaiknya rasa takut ini juga kepada sesuatu yang lebih besar.
Pendapat dari psikolog Sarlito Wirawan di koran Kompas sekitar awal tahun 2006, "Kami menghadapinya seperti memahat batu dengan air".
Aku heran kenapa aku masih tak takut, walau bisa jadi tak 'secuek' dulu.
Tapi kali ini aku ketakutan. Bukan takut hantu atau binatang. Siang terang benderang, aku berjalan di jalan raya yang cukup ramai. Aku melihat sosok perempuan berbadan kecil, berjarak 5 meter denganku. Aku menunduk berharap dia tak melihat. Alhamdulillah dia tak melihat. Di kota ini? Bumi ini terlalu luas untuk aku bertemu jutaan manusia lain. Waktu yang kupunya ini mudah2an masih ada untuk bertemu teman2 dekatku yang terpisah jarak yang menunggu2 aku memenuhi undangan kangen mereka. Kenapa harus papasan dengannya? Jantungku sempat berdebar sebentar, walau tak sekencang dulu. Dia yang beberapa tahun lalu mendapat no hp-ku, entah dapat darimana. Isi sms yang standar. Layaknya sms teman lama. Tak kubalas. Tanganku gemetar memegang hp. Padahal dulu kami berpisah baik-baik penuh senyuman. Karena aku mulai pandai berbasa-basi dengannya. Kukira case close. Bertahun kemudian, dia ternyata masih mencari korban lain. Saudaranya temanku. Aku kaget. Dunia ini begitu sempit. Si korban tersiksa dan berniat melabraknya. Kularang. Akan percuma. Dulu aku pernah dibuat pucat pasi olehnya, dulu teman2ku yang pernah bertemu dengannya menangis dibuatnya, bahkan psikolog muda menangis gemetar di depan mataku karenanya! Dia sopan, pintar, puitis, lemah lembut, dan penolong. Tapi dia psikopat. Maaf kalau aku menyebutnya itu. Maaf kalau aku tak siap menyapanya sekarang. Aku tak mau nantinya sekadar basa-basi lagi. Maaf kalau aku tak bisa menjadikannya ladang pahala bagiku, untuk menyadarkannya. Masih banyak hal lain yang bisa dijadikan ladang pahala.
Dan aku heran, kenapa aku masih takut, walau tak 'segemetar' dulu.
Rasa takut diciptakan agar kita selalu waspada. Sebaiknya rasa takut ini juga kepada sesuatu yang lebih besar.
Pendapat dari psikolog Sarlito Wirawan di koran Kompas sekitar awal tahun 2006, "Kami menghadapinya seperti memahat batu dengan air".
0 Comments:
Post a Comment
<< Home